Jumat, 04 Juli 2014

Menunggu Kesempatan untuk Membabarkan Kebijaksanaan Buddha

Menunggu Kesempatan untuk Membabarkan Kebijaksanaan Buddha

Dalam mempelajari ajaran Buddha harus tekun dan bersemangat.
Kita harus terus melangkah maju.
Kita tahu waktu tidak menunggu, maka kita harus menghargai waktu bagai emas.
Kita sering mendengar ungkapan "Siapa yang minum air, dia yang tahu
air itu panas atau dingin."
Kondisi batin setelah melatih diri, hanya bisa dirasakan oleh
masing-masing orang.
Orang lain tidak dapat mengetahui isi batin kita.
Ajaran yang kita dengar kemarin, orang yang kita temui, dan masalah
yang kita hadapi,
apakah membuat  kita senang atau tidak, hanya diri sendiri yang tahu.
Saat berpikir, kita pasti akan bermain dengan rupa.
Saat memikirkan seseorang, rupa orang itu pasti akan terbayang di pikiran kita.
Ini yang disebut "berpikir".
Saat kita memikirkan rupa orang itu, apakah ia membuat kita senang?
Ini yang disebut "merenungkan".
Kita mengolah dan memasukkan sesuatu pada ladang batin kita.
Inilah yang disebut "pemikiran".
Saat kita memikirkan dan merenungkan hal yang kita temui kemarin,
apakah senang atau tidak, di dalam batin kita terbayang rupa.
Inilah yang disebut fenomena (Dharma) berkondisi.
Saat mendengar Dharma, apakah kita dengar dengan sepenuh hati?
Adakah kita memasukkan Dharma ini ke dalam ladang batin kita?
Kita harus bertanya pada diri kita sendiri.
Kita yang paling jelas akan kondisi batin kita.
Sama seperti saat mencabuti rumput di taman, apakah kita tahu jenis
rumput apa yang kita cabuti?
Jika kita tidak tahu, ini bagaikan kegelapan batin kita,
kita tidak tahu dari mana sumbernya.
Karena itu dikatakan, "bertani sama dengan bermeditasi", "hati sama
dengan Buddha", "Buddha sama dengan Dharma".
Apakah kita mampu mengenali kondisi batin kita, semua bergantung pada ketekunan kita.


Melatih diri bertujuan menumbuhkan jiwa kebijaksanaan.
Ia harus diairi dengan Dharma.
Kita harus menggenggam setiap waktu yang ada untuk melenyapkan noda batin
sehingga batin kita senantiasa hening dan jernih. Inilah hakikat kebuddhaan.
Ini adalah kondisi batin yang indah.
Kita harus menjaga kondisi batin yang murni ini hingga selamanya.
Dengan begitu, barulah kita tidak menyia-nyiakan usaha Buddha yang
mengajar di dunia ini.
 Buddha menggunakan banyak ajaran dan metode terampil untuk membawa
kita menuju kebenaran.
Ini menunjukkan kesungguhan hati Buddha.
Jika Buddha tidak ingin mencerahkan semua makhluk, Beliau tidak perlu
begitu bersusah payah.
Buddha ingin menunjukkan "jalan besar" bagi kita agar kita tidak lagi
tersesat dan berputar-putar di "jalan kecil". Inilah Jalan
Bodhisattva.
Inilah tujuan Buddha membuka metode terampil, yakni agar semua makhluk
menyelami kebijaksanaan Buddha.
Sesuai kemampuan setiap makhluk, Buddha terlebih dahulu mengajarkan
"ajaran kecil",
baru kemudian membimbing mereka perlahan-lahan ke "jalan besar".
Tanpa melewati jalan kecil, tak bisa menuju jalan besar,
karena kita semua adalah makhluk hidup berkebijaksanaan rendah.
Buddha menggunakan berbagai cara agar kita bisa melenyapkan berbagai
noda batin dan kembali pada kebijaksanaan yang sama dengan Buddha.
Kebijaksanaan hakiki ini adalah Dharma tanpa kondisi, tetapi batin
kita selalu terikat kondisi, sehingga terus terbelenggu noda batin.
Buddha datang ke dunia untuk membangkitkan kebijaksanaan hakiki ini,
memberi tahu kita bahwa hati, Buddha, dan semua makhluk pada dasarnya setara.
Karena itu, kita harus memperlakukan semua makhluk dengan welas asih
yang setara.
Tiada yang disebut "pemberi", tiada "penerima", tiada "sesuatu yang diberikan".
Sesungguhnya, segala sesuatu di dunia ini adalah milik bersama,
hanya saja karena karma dan jalinan jodoh, ada orang yang kekurangan,
ada orang yang berlebih. Karena itu, yang berlebih juga harus menutupi
kekurangan orang yang membutuhkan.
Ini adalah "Dharma yang berkondisi", tetapi menuju pada "Dharma yang
tak berkondisi".
Setiap orang memiliki welas asih dan kebijaksanaan yang penuh kesetaraan.
Kita berharap semua makhluk dapat memiliki jalinan jodoh untuk kaya
kebijaksanaan dan welas asih.
Untuk mengajarkan semua makhluk tentang kebenaran ini, Buddha juga
menunggu saat dan kondisi yang tepat. Buddha tidak langsung bilang
semua makhluk bisa jadi Buddha. Mengapa?
Di dalam Sutra disebut, "Waktunya belum tiba, kondisinya belum
matang." Jika dikatakan langsung,
belum tentu ada yang mengerti.
Jadi, Buddha terus menunggu dalam waktu yang panjang.
Setelah sekian lama, setelah Buddha memasuki usia senja, saat akan parinirvana,
Buddha melihat waktunya sudah tiba, kemampuan semua makhluk juga sudah cukup,
barulah Buddha mengajarkan sesuatu yang belum pernah diajarkan, yaitu
semua orang dapat mencapai kebuddhaan.
Dharma ini sebenarnya sudah ada di dalam hati semua makhluk, bukan
hanya didengar dengan indra pendengaran.
Untuk menuju kebuddhaan, tidak ada jalan kedua, hanya ada Kendaraan Tunggal.
Meski kemampuan dan jalinan jodoh semua makhluk berbeda-beda, tetapi
jalan menuju kebuddhaan hanya satu. Selama 42 tahun pertama,
kondisinya belum matang, Buddha belum membabarkan kebenaran ini.
Beliau terlebih dahulu membimbing semua makhluk
dengan "dharma berkondisi" menuju "dharma tanpa kondisi".
Jadi, mempelajari ajaran Buddha, hanya ada satu hal,
yaitu terus maju dengan tekun, menjaga batin kita agar tidak lengah.
Jika tidak, kita akan terus berputar-putar di jalan kecil. Jika
tersesat, maka akan terlambat untuk kembali. Jadi kita harus tekun dan
bersemangat di jalan yang lurus dan lapang ini,
baru bisa memiliki dan merasakan kondisi batin yang indah.
Untuk itu, semua harus selalu bersungguh hati.

Yang saya dapat hari ini:
Kebenaran sejati itu tidak mudah didengar, Buddha butuh waktu 42
tahun, baru mengajar kebenaran sejati, dan disebut kebenaran itu bukan
hanya didengar dengan indra pendengaran.

Shigong Shangren juga begitu. Tzu Chi sudah tahun ke 49, kita yang
bisa hidup sezaman dengan Shigong Shangren sangat beruntung.  Beliau
gunakan banyak cara sesuai kemampuan masing-masing orang. Apa kita
sudah dengar dgn hati? Mungkin kita juga hanya dengar dengan indra
pendengaran. Kita juga mungkin masih terikat "dharma berkondisi",
berputar-putar di jalan kecil, padahal semua itu cuma metode, bukan
kebenarannya.
Kadang kita hanya terus berputar di "fangshi" (cara), tapi lupa
"fangxiang" (arah), melekat pada "yang berkondisi", melupakan "yang
tak berkondisi". Jika begitu, mau kembali juga butuh waktu yang tidak
sebentar. Tapi ya ini kembali lagi ke jalinan jodoh. Untungnya di Tzu
Chi kan rame-rame, tadi juga disebutkan, jalinan jodoh semua orang
beda-beda, maka hendaknya saling melengkapi, saling mengingatkan
tentang "fangxiang". gan en

Ringkasan oleh Hendry Chayadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar